SRIPOKU.COM — Dalam makalahnya di Surgical Neurology
International, Sergio Canavero dari
University of Turin berpendapat
bahwa suatu hari nanti, cangkok kepala manusia bisa menjadi kenyataan.
Cangkok kepala di sini berarti bahwa kepala dipisahkan dari tubuh
yang lama yang mungkin telah mengalami banyak kerusakan atau penyakit,
kemudian digabungkan dengan tubuh baru yang masih berfungsi baik.
Canavero mengungkapkan, selama beberapa dekade, cangkok kepala memang
dipandang memiliki kesulitan tinggi, terutama dalam menyambungkan
spinal cord antara kepala dan tubuh. Kegagalan berujung kematian.
Namun, Canavero juga mengatakan bahwa teknologi terus berkembang.
Perkembangan teknologi terbaru dalam menyambungkan spinal cord sekarang
membuka pintu bagi terwujudnya cangkok kepala.
Canavero mengemukakan gagasan teknik mencangkok kepala berdasarkan
prosedur cangkok kepala yang pernah dilakukan pada monyet rhesus tahun
1970. Monyet yang mengalami cangkok kepala saat itu dapat hidup 8 hari,
walaupun akhirnya mati karena spinal cord tak menyatu.
Teknik cangkok kepala yang digagas Canavero diistilahkan GEMINI.
Dengan cara ini, kepala yang akan dicangkokkan didinginkan lebih dahulu
pada suhu antara 12-15 derajat celsius. Cara ini juga harus dilakukan
dengan pisau super tajam untuk memisahkan dua spinal cord.
Selanjutnya, seperti diuraikan Nature World News, Selasa (2/7/2013),
darah dari kepala ditiriskan. Kepala dan tubuh donor kemudian
disambungkan dengan "lem" polimer bernama polythylene glycol (PEG),
bahan yang juga digunakan untuk bahan-bahan tetes mata.
Kepala yang akan disambungkan harus dipisahkan dari tubuh sebelumnya
pada saat dan di ruang operasi yang sama dengan pencangkokan. Dokter
bedah punya waktu satu jam untuk menyatukan kepala dengan tubuh donor
yang dijaga pada kondisi yang memungkinkan istirahatnya jantung.
Sekali kepala dan tubuh donor telah tersambung sempurna, maka jantung
bisa diaktifkan lagi sehingga darah terpompa mengaliri organ lain
termasuk kepala yang baru saja dicangkokkan. Dengan demikian, seluruh
sistem organ aktif lagi.
Diakui Canavero, memastikan semua saraf tersambung memang sulit.
Namun, walaupun hanya sedikit saja saraf yang tersambung tepat dan
sempurna, beberapa gerakan sadar sudah bisa ditunjukkan.
Meski gagasan cangkok kepala ini menarik, beberapa ilmuwan
mempertanyakan kemungkinannya dikerjakan dan persoalan etikanya. Salah
satu ilmuwan itu adalah Jerry Silver dari Case Western Reserve
University yang terlibat upaya cangkok kepala monyet rhesus tahun 1970.
Silver mengomentari teknik cangkok kepala gagasan Canavero. "Ini
benar-benar fantasi bahwa Anda bisa menggunakan PEG pada luka traumatik
pada mamalia dewasa," katanya seperti dikutip Medical Daily, Rabu
(3/7/2013).
Mengingat kembali ekspresi monyet rhesus setelah mengalami cangkok
kepala, Silver mengatakan, "Saya ingat saat kepala bangun, wajah
menunjukkan ekspresi sangat kesakitan, kebingungan, dan kegelisahan."
Canavero sendiri mengharapkan cara ini bisa berhasil agar dapat
menolong penderita tetraplegia, orang yang menyandang paralisis total.
Canavero mengatakan, cangkok kepala nantinya mungkin akan menelan biaya
13 juta dollar AS.